Biaya Materai Pembayaran Tagihan Kartu Kredit

Materai kartu kredit.
Biaya terakhir yang akan kita bahas dan perlu diketahui oleh kita semua adalah biaya materai pembayaran tagihan kartu kredit. Apa maksud biaya materai pembayaran tagihan kartu kredit? Berapa besar biaya materai ini? Berikut ini kami jelaskan kepada Anda semuanya.
Biaya Materai Pembayaran Tagihan Kartu Kredit
Biaya materai pembayaran tagihan kartu kredit mungkin satu-satunya biaya yang ada dalam komponen bisnis kartu kredit di seluruh dunia dan hanya terjadi di Indonesia. Anda bisa lihat Indonesia sungguh luar biasa bukan? Apa saja diusahakan untuk ditarik pajak dari rakyatnya tetapi perbaikan sama sekali tidak dilakukan. Soal urusan menarik pajak, Indonesia adalah negara nomor 1 di dunia. Soal manipulasi pajak oleh mafia-mafia pajaknya itu juga nomor 1! Klop sudah. Masih ingat kasus Bro Gayus Tambunan? Pajak ditarik dari rakyat bukan untuk disalurkan kembali ke rakyat tetapi untuk mengkayakan pejabat-pejabat dan para mafianya. Dan kalau bisa semua dipajakin mulai dari makanan, penginapan, belanja di supermarket, kartu kredit bahkan yang terakhir katanya warteg (warung tegal) yang konon tempat makan buruh-buruh harian, orang-orang kecil akan ditarik pajak. Hebat! Proficiat!

"Orang pajak nyolong pajak? Apa kata dunia?"

Pajak untuk membangun bangsa. Ini sudah pasti benar. Tetapi mengapa negara selalu kekurangan uang? Tak lain karena dikorupsi, dimanipulasi bahkan untuk menghidupi PNS-PNS yang kerjanya tidak becus. PNS-PNS yang tidak becus terus saja diterima begitu saja. Makanya istilahnya "garbage in garbage out". Semua orang ingin jadi PNS, jadi polisi, anggota DPR bahkan rela menyogok, dsb. Tetapi kalau jadi tentara jelas sedikit karena sudah seperti teken kontrak dengan kematian (berperang). Bercita-cita jadi PNS, polisi dan anggota DPR bukan bertujuan untuk melayani rakyat tetapi untuk gagah-gagahan bahkan ingin hidup enak mengharapkan uang pensiun, tunjangan, kekuasaan terispirasi zaman kolonial Belanda soal kaum priyayi. Anda pasti tahu di zaman kolonial VOC Belanda menjadi PNS adalah sebuah kehormatan dan kebanggaan besar. Nah itu menular terus hingga zaman sekarang tanpa mereka sadari. Anda bisa melihat sendiri model dan tempramen semua PNS di semua lini dan di semua kabupaten seluruh Indonesia. Makanya tak heran kita melihat BUMN-BUMN yang sudah jelas-jelas monopoli tetapi bisa rugi dan bangkrut sehingga harus dijual, IPO, dsb. Monopoli saja bangkrut apalagi tidak monopoli? Sudah jelas "garbage in garbage out". Kalau yang dimasukin tai maka jelas keluarnya pasti tai. Wong dimasukin makanan saja keluar tai, apalagi dimasukin tai?
Jadi pemerintah kelabakan dan kekurangan uang untuk menggaji para pegawainya yang sebenarnya tidak kompeten. Mestinya satu urusan dokumen atau keperluan keluar dalam waktu yang singkat, tetapi karena jabatan tersebut diduduki oleh orang-orang yang tidak kompeten bahkan mencari kesempatan, jelas tidak akan keluar sebelum kepentingan dan ambisi si pejabat tersebut terealisasi. Otomatis urusan bisnis, dokumen, dsb..keteter menyebabkan biaya semakin besar yang ujung-ujungnya berdampak pada kondisi perekonomian negara. Pengusaha bukan orang bodoh, "You naikin harga atau berlama-lama gak masalah. You sendiri akan merasakan akibatnya karena akan kita naikan juga biaya jasa, biaya servis, biaya produk, dsb." Kurang lebih seperti itu. Ujung-ujungnya kita rakyat kecil yang kena dampaknya.
Kasus pengenaan biaya materai pelunasan kartu kredit diberlakukan kalau tidak salah di era kepemimpinan Presiden SBY di mana menteri keuangannya diduduki oleh Ibu Sri Mulyani. Kalau hanya untuk mengadu ide mencari sumber penghasilan dari pajak, kami rasa semua orang bisa. Buktinya warteg pun mau dipungut pajak. Sebentar lagi mungkin kentut di tengah jalan pun akan dikenakan tilang atau denda. Memunculkan ide kreatif untuk menyenangkan atasan yang dulu kita kenal dengan istilah ABS (Asal Babe Senang) kami rasa sangatlah mudah. Pada saat pertama kali ide ini keluar mungkin banyak orang keberatan tetapi bagi orang-orang pajak yang sudah kelimpungan mencari dana menghidupi PNS yang tidak kompeten mungkin senyum-senyum dan dianggap brilian. Bayangkan jika pemegang kartu kredit Indonesia adalah 10 juta nasabah. Kalikan saja dengan Rp 6.000 maka sebulan pemerintah mengantongi pemasukan pajak materai kartu kredit Rp 60 milyar. Wow!
Biaya materai lunas dikenakan bank tetapi bukan untuk bank melainkan pajak dari pemerintah. Jadi yang menikmati adalah pemerintah. Bank hanya melaksanakan regulasi UU dari pemerintah saja. Bank tentu tidak akan mau mengeluarkan sebuah kebijakan bodoh yang akan memberatkan nasabahnya sendiri. Bisa kabur semua orang. Tetapi pemerintah punya pertimbangan lain di mana dianggap semua yang menggunakan kartu kredit termasuk orang-orang kelas menengah ke atas. Jadi menarik pajak materai sebesar Rp 3.000 atau Rp 6.000 tentu tidak memberatkan. Toh mereka termasuk kelompok yang punya penghasilan cukup sehingga bank pun mengeluarkan kartu kredit buat mereka. Sangat logis!
Secara pribadi pada waktu kebijakan ini dicetuskan dan dilaksanakan, kami bukan menolak masalah biaya materai ini tetapi tentu saja tidak logis dilihat dari sisi penerapan teknologi pembayaran di abad digital ini. Kebijakan ini cenderung ABS serta menyelesaikan masalah dengan masalah baru (menghidupi PNS tidak kompeten dengan menimbulkan masalah baru) dibandingkan benar-benar untuk memberantas para mafia kartu kredit, membereskan dunia perbankan. Mengapa kami bisa berasumsi demikian? Tak lain karena mungkin cuma Indonesia yang mengenakan biaya materai seperti ini. Kalau semua negara maju di dunia juga mengenakan biaya ini baru bisa kita terima. Dengan penambahan biaya materai ini otomatis membuat pertumbuhan kartu kredit tersendat. Ujung-ujungnya orang-orang akan kembali menggunakan uang tunai karena dianggap kartu kredit justru menimbulkan biaya-biaya baru. Kalau uang tunai digunakan maka sudah pasti kita pun akan terancam oleh peredaran uang palsu.
Dan satu lagi yang kami kuatirkan adalah jika penerapan biaya materai ini lancar tanpa ada kendala, bisa jadi suatu hari otak-otak pejabat tersebut berpikir, "Wah rakyat Indonesia baik-baik saja ini. Bagaimana kalau nanti kita terapkan ide setiap kali kartu kredit digesek minimal sekian, kita kenakan lagi biaya materai." Hal ini bisa saja terjadi melihat tipe otak pejabat kita yang sebagian juga tidak kompeten dan ABS. Pokoknya soal menarik pajak adalah nomor #1. Jadi nanti mungkin akan ada pajak penggunaan kartu kredit hingga pajak pelunasan kartu kredit. Wow! Sampai di sini Anda paham bagaimana kami berdiri agak menjauh dari kebijakan pemerintah. Menarik pajak lewat materai sah-sah saja tetapi tidak logis jika diberlakukan pada produk teknologi yang jelas-jelas lebih bermanfaat daripada penggunaan dan peredaran uang tunai.
Besarnya biaya materai pembayaran tagihan kartu kredit adalah Rp 3.000 dan Rp 6.000. Jika pembayaran tagihan kita di bawah Rp 250.000 kita tidak akan dikenakan biaya materai ini. Lalu apakah hanya untuk menghindari pajak materai lalu Anda selalu membayar maksimum Rp 250.000? Tentu lebih mengenyangkan bankir dan selalu diharapkan bankir demikian. Jadi serba salah seperti pepatah yang mengatakan. "taruh di atas takut kucing, taruh di bawah takut anjing." Pembayaran di atas Rp 250.000 - Rp 1 juta akan dikenakan biaya materai Rp 3.000. Jika pembayaran di atas Rp 1 juta akan dikenakan biaya Rp 6.000. Jika sebulan Anda membayar kartu kredit 10x maka Anda tinggal kalikan saja. 
Kesimpulannya: biaya materai pembayaran tagihan kartu kredit adalah biaya yang boleh dikatakan dialami semua pemegang dan pemilik kartu kredit di Indonesia. Inilah satu-satunya biaya yang 99,9% dialami semua pemilik kartu kredit di Indonesia dan tidak bisa disiasati dengan cara apapun. Dan biaya ini hanya berlaku untuk warga negara Indonesia. Sedangkan 1% sisanya yang tidak akan dikenakan biaya materai ini adalah  mereka yang menggunakan kartu kredit di bawah Rp 250.000 per bulan.

Sumber dari @Mafia Kartu Kredit

No comments:

Post a Comment